Dengan Keluarganya Membangun Dinasti-isme Kekuasaan Di Jember
Bagaimana mungkin saya melarang istri, anak, menantu dan saudara saya untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah atau calon legislatif sebab Tuhan saja tidak pernah melarang seseorang termasuk keluarga saya untuk mencalonkan diri”?
Jember, – Begitulah sepenggal argument yang seringkali dilontarkan kelompok yang menjadikan kekuasaan sebagai tujuan utama kehidupan kelompoknya yang sering disebut sebagai penganut dinasti-isme, kelompok yang senantiasa ingin melanggengkan kekuasaan demi mengejar impian kenikmatan duniawi yang serba glamour, mewah dan populer.
Dalam sistem pemerintahan yang berlandaskan demokrasi maka setiap orang diperbolehkan untuk memilih dan dipilih melalui mekanisme pemilihan umum. Oleh sebab itulah maka dinastiisme menjadi sulit dihindari.
Dalam pandangan mayoritas masyarakat Indonesia, dinasti-isme dipandag negatif, karena senantiasa disertai sifat dan perilaku hidup hedon, ditengah semangat cara hidup masyarakat yang religious dan mengutamakan keadilan social.
Namun demokrasi memberikan ruang kepada petahana / penguasa untuk bisa memanfaatkan privilege kewenangan yang digenggamnya untuk memfasilitasi kroni dan keluarganya untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah atau calon legislative, demi membangun dinastinya.
Hari ini di Jember tercatat sedang riuh anggota keluarga Bupati Jember Hendy Siswanto menyemarakkan perhelatan tahun politik 2024.
Publik mencatat dalam hampir semua kegiatan dinas Pemerintah Daerah kehadiran Ibu Bupati (Hj Kasih Fajarini) atau foto Ibu Bupati bertengger bersama Bupati bahkan dalam format resmi menggunakan logo pemerintah Daerah.
Kemudian dalam banyak kegiatan dinas Hendy Siswanto terdapat 2 menantu dan 1 menantu keponakannya aktif ikut mengiringi kegiatan dinas Hendy.
Belum lagi banyak kegiatan yang lazimnya dibiayai duit APBD, menggunakan fasilitas asset Daerah seperti alun-alun, Pendopo, Gedung kantor aset Daerah yang melibatkan peran aktif keluarga besar Bupati Hendy Siswanto. Belum lagi beberapa institusi yang mendapat support duit dari APBD juga melibatkan peran aktif keluarga besar Bupati Jember seperti ASKAB PSSI diketuai Sandy anggota DPRD Jember yang juga menantu Bupati, Tim ahli Bupati yang salah satu anggotanya Nadif merupakan menantu Bupati, entah dengan keahlian apa yang bersangkutan diangkat menjadi anggota Tim Ahli, Kemudian ada duo keponakan Bupati Hendy yang menempel erat tiap saat selaku ajudan, Yang menentukan siapa yang diijinkan atau ditolak untuk mengakses bertemu Bupati Hendy Siswanto tiap harinya.
Dan sudah menjadi rahasia umum serta rasan-rasan dikalangan ASN Pemerintah Kabupaten Jember, belum lengkap semua itu sebelum menyebut para tenaga honorer yang ditebarkan di semua OPD di lingkungan Pemerintah Kabupaten Jember.
Bahkan mereka seringkali bertindak mengendalikan fungsi-fungsi penyelenggaraan tugas pemerintahan yang ditangani OPD, baik pada tataran psikologis yakni membangun lingkungan yang sesuai dengan maksud dan tujuan yang dibangun dalam kekuasaan dinasti keluarga besar hendy untuk memberi pengaruh kuat arah kerja yang diinginkan terhadap ASN di OPD , ataupun secara teknis terlibat dalam kegiatan perumusan proyek, program dan kegiatan serta pelaksanaanya pada OPD itu.
Pendeknya dalam dua tahun ini praktek dinastiisme di Jember telah merambah jauh sampai ke relung terdalam penyelenggaraan pemerintahan daerahnya.
Semua fenomena yang diigambarkan tersebut tidak terlepas dari momentum Pemilukada yang dalam demokrasi akan melahirkan kelas penguasa, dan setiap kelas penguasa memiliki kecenderungan untuk mempertahankan kekuasaannya, salah satunya melalui politik dinasti.
Setiap kekuasaan cenderung korup, dan karenanya, petahana yang terpilih melalui mekanisme pemilu, berkepentingan “menutupi” penyalahgunaan kekuasaannya dengan jalan mendorong anggota keluarganya untuk terlibat aktif mengelola kekuasaan guna menutupi celah-celah penyimpanganya dan juga diharapkan kelak dapat meneruskan tampuk kekuasaannya melalui pemilu sebagai cara yang dibolehkan dalam sistem demokrasi.
Dalam perspektif teori dominasi kemunculan dinastiisme disebabkan karena adanya peluang dominasi dari kelas penguasa terhadap kelas yang dikuasai.
Mengambil pendapat MOSCA, Kelas penguasa (kekuasaan elite) adalah sebagai akibat sifat-sifat yang tak terbantahkan dari watak sosial manusia. Selanjutnya dikatakan, bahwa kelas politik yang tidak adaptatif dengan zaman tidak akan bisa mempertahankan diri.
Sementara elite lain akan terbentuk dari kalangan yang diperintah, dan dengan perjalanan waktu akan mengambil alih kekuasaan meskipun dengan kekerasan. Oleh karena itu semua kelompok penguasa harus mempertahankan sistem pewarisan secara turun temurun agar tetap dapat memanipulasi kekuasaannya. “Akan tetapi Mosca juga menyadari, bahwa rekruitmen dari kelas mayoritas sangat dibutuhkan demi stabilitas organisasi politik.
Untuk itu kelas penguasa ini melakukan pola rekruitmen diskriminatif dengan memberi peluang kepada Kelas pekerja yang memiliki karakter loyal kepada kepentingan penguasa untuk dijadikan peliharaan demi mendukung dan melanggengkan kekuasaannya.
Dari sisi politik kekuasaan, dinastiisme mengindikasikan agar “kesalahan” yang diperbuat oleh kepala daerah sebelumnya dapat “diamankan” oleh sosok kepala daerah berikutnya sehingga istri atau saudaranya-lah yang kemudian “harus” menjadi kepala daerah.
Inti masalahnya adalah menyangkut soal kekuasaan
Kelompok penguasa penganut dinastiisme ini memandang Kekuasaan sebagai kemampuan individu atau kelompok individu untuk membatasi keinginan kelompok lain, dan mencegah keinginannya dikuasainya oleh kelompok lain tersebut.
Kelompok ini senantiasa memperkenalkan Kekuasaan dalam pemahaman yang selalu ambigu, mempesona sekaligus menakutkan. Mempesona kerena seorang penguasa dapat mengatur dan mengendalikan chaos. Menakutkan karena kekuasaan cenderung busuk, disalahgunakan untuk menindas rakyat, merampas kebebasan rakyat.
Dalam perspektif demokrasi prosedural maka dinastiisme menjadi sulit dihindari, termasuk misalkan keluarga seorang Bupati memiliki peluang dan kesempatan maju sebagai kandidat (kontestan) untuk menggantikannya atau menjadi kandidat legislatif untuk memperkuat posisi politiknya , salah satu konsekuensinya adalah, bagi petahana yang mencalonkan keluarga sebagai pengganti dirinya atau sebagai anggota legislatif, maka akan sulit untuk menafikan hegemoni atau potensi dominasinya, baik itu melalui jalur kekuatan birokratik sebagaimana praktek penyusupan menjadi Tim Ahli atau ajudan atau tenaga honorer, kekuatan politik dengan memanfaatkan failitas milik Daerah untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif maupun kekuatan finansial dengan mengatur hilirisasi proyek, mengisi jabatan-jabatan pada institusi yang dibiayai APBD ataupun mendapat jatah terbesar sebagai pengelola bansos yang bersumber dari APBD.
Dan semua mahfum bahwa dinastiisme senantiasa menjadi simbol potensi “abuse of power” yang akan menimbulkan korupsi yang diikuti oleh kolusi dan nepotisme. Sehingga dinastiisme senantiasa berkonotasi negatif. Namun fenomena ini semakin marak seperti berkah bagi keluarga dinasti di era otonomi daerah.
Dalam Pilkada, pemenangan mayoritas dimenangkan keluarga atau kroni incumbent. Sampai hari ini publik menilai dinasti politik sebagai bagian dari nepotisme untuk melanggengkan kekuasaan.
Dalam politik kekerabatan proses rekrutmennya didasarkan pada sentimen kekeluargaan. Garis kekeluargaan merupakan penentu utama sistem kepemimpinan komunal, sekaligus menjadi pola pewaris kekuasaan politik. Politik kekerabatan, dibangun di atas basis pemikiran yang bertumpu pada doktrin politik kuno : “blood is thicker than water — darah lebih kental daripada air”
Doktrin ini menegaskan, kekuasaan – karena dapat mendatangkan kehormatan, kemuliaan, kekayaan, dan aneka social privileges – harus berputar di antara anggota keluarga dan para kerabat saja.
Kekuasaan terdistribusi dan bergerak melingkar di antara pihak-pihak yang memiliki pertalian darah. Dinastiisme adalah strategi politik manusia yang bertujuan untuk memperoleh kekuasaan, agar kekuasaan tersebut tetap berada di pihaknya dengan cara mewariskan kekuasaan yang sudah dimiliki kepada orang lain yang mempunyai hubungan keluarga dengan pemegang kekuasaan sebelumnya. Itulah pengertian netral dari dinasti politik.
“Kalau proses pemilihannya fair dan demokratis serta kepemimpinan yang dijalankannya mendatangkan kebaikan dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat maka dinasti politik dapat berarti positif”.
Jika yang terjadi sebaliknya, maka kita sedang membicarakan Jember yang hari ini kita sedang meratapi 7 program unggulan yang sekedar janji, mengelus dada karena nilai duit APBD Jember konsisten menurun di tiap tahun pembahasannya, yang RPJM produk dokumen bernilai milyaran rupiah teronggok tanpa nilai, yang birokrasinya tak lagi punya harga diri melanggar sumpah janji menggerogoti regulasi, yang angka kemiskinannya konsisten nomor 2 se jawa timur, dan stuntingnya tidak beranjak dari pertama kali Bupati dilantik dan diamanahi memperhatikan stunting oleh Gubernur yang melantiknya, kemudian Indeks Pembangunan Manusianya tidak pernah mencapai target yang disepakati sehingga layak disebut bahwa para pemilih Bupati telah di posisikan sebagai manusia yang hidup layak, yang penganggurannya masih tinggi, yang LKPJ nya hari ini mendapat kesimpulan RAPORT MERAH dari DPRD.
Itu semua mengindikasikan bahwa dinastiisme dan upaya melanggengkan kekuasaan tidak sebanding dengan capaian prestasi dari kekuasaan yang menjadi tujuan utamanya.
Maka sikap bijak kita adalah mengakhiri fenomena dinastiisme akan membawa Jember lebih maslahat, lebih bermartabat dan lebih berpotensi membangun lingkungan politik yang memberi secercah harapan bagi kesejahateraan masyarakat. Semoga menjadi inspirasi bagi kemuliaan dan kesejahteraan masyarakat Jember.
Penulis : Mjw
Editor : Mujianto.