Saatnya Pemimpin Berkultur Pesantren

Jember,PN – Keberadaan 611 lembaga Pondok Pesantren ( Ponpes) yang terdaftar formal di Jember, menjadikan Jember sebagai daerah jumlah pesantren terbanyak di Jawa Timur. 08/05/2023.

Tidak heran jika masyarakat Jember diwarnai dengan pola hidup religius , sebagaimana dipraktekan sehari-hari di lingkungan Pondok Pesantren.

Pesantren memiliki fungsi sebagai lembaga pendidikan dan dakwah serta lembaga kemasyarakatan , yang telah memberikan warna kehidupan tersendiri terutama di daerah pedesaan.

Oleh karena itu, secara kultural bisa diterima masyarakat. Bahkan telah ikut serta membentuk dan memberikan nilai kehidupan pada masyarakat yang tumbuh dan berkembang.

Figur kiyai dan santri serta perangkat fisik yang memadai di sebuah pesantren yang dikelilingi sebuah kultur yang bersifat keagamaan. Kultur tersebut mengatur hubungan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain.

Sebagian besar pesantren itu terletak di daerah pedesaan, jadi pesantren telah berperan aktif mencerdaskan bangsa khususnya masyarakat bawah yang membawa perubahan positif bagi lingkungannya.

Pesantren juga disebut sebagai lembaga non formal, yang eksistensinya berada di jalur sistem pendidikan kemasyarakatan, pesantren memiliki program yang disusun sendiri pada umumnya bebas dari ketentuan formal, non formal dan informal yang berjalan sepanjang hari dalam sistem asrama.

Latar belakang pesantren yang paling penting diperhatikan adalah peranannya sebagai transformasi kultural yang menyeluruh dalam kehidupan masyarakat agamis.

“Jadi, pesantren sabagai jawaban terhadap panggilan keagamaan, untuk menegakkan ajaran dan nilai agama dan pengayoman serta dukungan kepada kelompok – kelompok yang bersedia menjalankan perintah agama.

Pesantren mampu merubah dan mengembangkan tatanan, cara hidup yang mampu menampilkan sebuah pola kehidupan yang menarik untuk diikuti, meskipun hal itu sulit untuk diterapkan secara praktis ke dalam masyarakat yang heterogen.

Akan tetapi selama pimpinan pesantren atau madrasah dan peran santrinya masih mampu menjadikan dirinya sebagai alternatif dan mempunyai peluang terbaik masyarakat , ini menjelaskan fungsi pesantren tidak hanya sebagai lembaga pendidikan saja, tapi juga berfungsi sebagai lembaga sosial dan penyiaran agama.

Dari aspek legal formal, pendidikan salaf banyak memberi kontribusi terhadap kehidupan bernegara masih dipandang remeh. Seandainya tanpa kekuatan akidah dan kecintaan terhadap bangsa dan Negara yang ditanamkan kepada pendidikan salaf di pesantren , maka resolusi jihad KH Hasyim Asyhari bisa jadi tidak menggerakkan Qolbu dan pikiran santri dan pejuang kemerdekaan saat itu.

Atas Izin Allah SWT pendidikan salaf telah melahirkan resolusi jihad, kekuatan akidah dan kecintaan terhadap bangsa dan Negara hingga menghantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaannya.

Tak membandingkan , ketika founding father bangsa ini menyatakan bahwa “untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,……” Jelas bahwa Pemerintah wajib melindungi segenap bangsa Indonesia. Istilah yang dipakai “segenap” agar tidak ganjil karena istilah “segenap” bermakna utuh dan menyeluruh.

Di usia 77 tahun Indonesia merdeka sebaiknya pemerintah mengkoreksi kebijakanya dengan prinsip JAS MERAH. Sudah saatnya pendidikan model salaf di dalam Pondok ikut serta mendapat pengakuan legal formal dari pemerintah, seraya menghormati dan tidak perlu mengurangi keberadaan pendidikan model lain.

Keberpihakan dan wujud kebijakan akan lebih nyata jika putra – putri bangsa , santri ,aktivis dan alumni pesantren mendapat kesempatan menjadi pengambil kebijakan di Negeri ini.

“Misal menjadi Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati atau Walikota. Sayangnya system politik dan praktek demokrasi yang berjalan saat ini terkontaminasi dengan paham – paham kapitalisme , sehingga memunculkan patologi kronis transaksi jual beli suara yang menjadikan electoral system menjadi mahal yang hanya bisa dijangkau oleh para calon pengambil keputusan yang berduit saja. Hal ini sangat berbahaya sebab semuanya berfokus pada uang.

Semangat memimpinpun akan di nilai semata-mata hanya untuk kepentingan pribadi untuk mendapatkan uang jumlah besar, tanpa berfikir kepentingan dan kebutuhan rakyat.

Fakta ini jelas tidak sesuai dengan pendidikan salaf yang menekankan akhlakul karimah dalam kehidupan sehari-hari yang mungkinkan setiap warga Negara memiliki daya juang optimal dengan nilai kehidupan yang terbukti membawa bangsa dan kemerdekaannya.

Sehingga sudah saatnya pilar demokrasi berjalan diatas hukum yang berlaku (rule of the law), bukan hukum ditentukan oleh besarnya uang yang ditransaksikan sehingga mengarah pada kehidupan ala mafia sebagaimana dipraktekan kelompok Sambo di Institusi Kepolisian, Rafael Alun Trisambodo di Kementerian Keuangan dan masih banyak kasus serupa dalam praktek menjalankan kekuasaan di Negeri ini. Celaka jika kehidupan demokrasi semacam ini dipertahankan tanpa koreksi, tanpa instrospeksi, tanpa aksi nyata merubah pola pikir, pola tindak, pola aturan regulasi dan pola kehidupan seluruh anak bangsa dalam berdemokrasi.

Nilai Pancasila khususnya nilai keadilan sosial harus diletakkan sebagai landasan kehidupan, termasuk kehidupan politik yang demokratis akan menempatkan para kandidat terseleksi berdasar nilai utama kehidupan yang berlaku di masyarakat.

Praktek yang konsisten pada gilirannya akan menghasilkan kandidat terpilih sesuai dengan harapan masyarakat karena tidak lagi bersentuhan dengan filter gelap bernama money politic, sehingga semua pihak akan terhindar dari kekecewaan akibat memilih pengambil keputusan yang memiliki maksud terselubung di balik pengorbanan materinya (modal pencalonannya) yaitu berlomba-lomba mengembalikan keuntungan, dan seringkali kebablasan mengeruk keuntungan dari kekuasaan yang dikelolanya.

Di Jember dua kali pengasuh Pondok Pesantren duduk dalam elit pemerintahan , tapi hanya dimanfaatkan saja sebab dalam prakteknya tidak memiliki peran signifikan ikut serta mengelola pemerintahan.

Akibatnya citra Pondok Pesantren semakin terpuruk, bagai saloka jawa “gupak pulut ora melu mangan nangkane”. Hampir tidak ada keberpihakan dan kebijakan yang memberi nilai tambah bagi pesantren.

Pengalaman pahit wajib menjadi instrospeksi, koreksi dan wajib melahirkan aksi nyata berupa perubahan pola pikir, pola tindak dan pola strategi dalam menghadapi Pilkada 2024.

Berangkat dari Kabupaten Jember, sudah saatnya membangun kesadaran melalui pengelolaan kekuasaan yang sesuai dengan nilai kehidupan yang diajarkan melalui pendidikan pesantren yang telah terbukti menghantarkan Bangsa Indonesia ke depan gerbang kemerdekaan. Perlu menyatukan rasa, cipta dan karsa untuk membangkitkan kembali pendidikan pesantren guna menyelamatkan masa depan bangsa sehingga tidak terus menerus terjebak dalam kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai kehidupan yang dapat menggiring ke jurang kehancuran.

Maka jalan praktis adalah menempatkan aktivis/alumni Pesantren menjadi penentu kebijakan yaitu sebagai Kepala Daerah yang menentukan tata kelola kekuasaan atas sumber daya yang besar, dalam konteks Pemerintah Kabupaten Jember sumber daya yang bisa dikerahkan meliputi 20 ribu SDM ASN/honorer, APBD 4 Triliun lebih, dan kewenangan atas sumber daya alam, aset beserta potensi Daerah lainnya.

Tantangan utama manakala dalam system electoral yang berlaku saat ini bagi kandidat yang berasal dari kalangan pesantren adalah :
1) modal finansial,
2) modal kompetensi dan
3) Modal dukungan politik. Melihat besaran potensi keseluruhan pondok pesantren di Kabupaten Jember maka tantangan ini dalam jangkauan yang bisa dikelola.

Maka sebagai insan yang melekat kekuatan iman, akidah, dan akhlak yang menjadi bagian nilai kehidupan sehari-hari ,maka alumni pesantren perlu mengikatkan diri dalam kesatuan kepentingan , memperjuangkan kepentingannya yang selama ini telah diperjuangkan yaitu meningkatkan kualitas dakwah kutural melalui pendidikan salaf yang difasilitasi secara legal formal oleh pemimpin di daerahnya masing-masing. Kesatuan kepentingan ini diharapkan melahirkan rumusan strategi dan pola juang yang sistematis dan berkelanjutan.

Bersatunya para insan Pesantren tentu merupakan kekuatan dan berkah tersendiri, terutama motivasi, utamanya memenangkan kehendak Allah SWT.

Ketika cita-cita menempatkan aktivis/alumni pesantren sebagai kandidat Kepala Daerah yang ketika terpilih nantinya akan mewarnai kebijakan pembinaan, pemberdayaan dan peningkatan kualitas dakwah melalui pendidikan pada Pesantren selama motivasi memenangkan kehendak Allah SWT, sebagai tumpuan yang tidak tergantikan maka insyaAllah izin dan ridho Allah senantiasa mengiringi setiap langkah menuju terwujudnya cita-cita tersebut.

Ketiga tantangan kontestasi yaitu modal finansial, modal kompetensi dan modal dukungan politik akan dipandang sebagai tantangan bersama, yang selanjutnya akan menjadi tanggungjawab bersama untuk mengelola tantangan tersebut sebagai strategi dan aksi nyata yang efektif sampai menghasilkan Kepala daerah berlatar belakang pondok pesantren dan senantiasa dikawal mewujudkan cita-cita pendiri bangsa yang terbukti berkesesuaian dengan ajaran luhur yang berlaku di lingkungan pesantren.

Penulis : M jaddin wajad.
Editor : Mujianto

Tinggalkan Balasan